Senin, 22 Agustus 2011

KELUARGA KUNCI KESUKSESAN




Seringkali kita dengar orang-orang yang membangun karir bertahun-tahun akhirnya terpuruk oleh kelakuan keluarganya. Ada yang dimuliakan di kantornya tapi dilumuri aib oleh anak-anaknya sendiri, ada yang cemerlang karirnya di perusahaan tapi akhirnya pudar oleh perilaku istrinya dan anaknya. Ada juga yang populer di kalangan masyarakat tetapi tidak populer di hadapan keluarganya. Ada yang disegani dan dihormati di lingkungannya tapi oleh anak istrinya sendiri malah dicaci, sehingga kita butuh sekali keseriusan untuk menata strategi yang tepat, guna meraih kesuksesan yang benar-benar hakiki. Jangan sampai kesuksesan kita semu. Merasa sukses padahal gagal, merasa mulia padahal hina, merasa terpuji padahal buruk, merasa cerdas padahal bodoh, ini tertipu!

Penyebab kegagalan seseorang diantaranya
  1. Karena dia tidak pernah punya waktu yang memadai untuk mengoreksi dirinya. Sebagian orang terlalu sibuk dengan kantor, urusan luar dari dirinya akibatnya dia kehilangan fondasi yang kokoh. Karena orang tidak bersungguh-sungguh menjadikan keluarga sebagai basis yang penting untuk kesuksesan.
  2. Sebagian orang hanya mengurus keluarga dengan sisa waktu, sisa pikiran, sisa tenaga, sisa perhatian, sisa perasaan, akibatnya seperti bom waktu. Walaupun uang banyak tetapi miskin hatinya. Walaupun kedudukan tinggi tapi rendah keadaan keluarganya.

Oleh karena itulah, jikalau kita ingin sukses, mutlak bagi kita untuk sangat serius membangun keluarga sebagai basis (base), Kita harus jadikan keluarga kita menjadi basis ketentraman jiwa. Bapak pulang kantor begitu lelahnya harus rindu rumahnya menjadi oase ketenangan. Anak pulang dari sekolah harus merindukan suasana aman di rumah. Istri demikian juga. Jadikan rumah kita menjadi oase ketenangan, ketentraman, kenyamanan sehingga bapak, ibu dan anak sama-sama senang dan betah tinggal dirumah.

Agar rumah kita menjadi sumber ketenangan, maka perlu diupayakan:
  1. Jadikan rumah kita sebagai rumah yang selalu dekat dengan Allah SWT, dimana di dalamnya penuh dengan aktivitas ibadah; sholat, tilawah qur'an dan terus menerus digunakan untuk memuliakan agama Allah, dengan kekuatan iman, ibadah dan amal sholeh yang baik, maka rumah tersebut dijamin akan menjadi sumber ketenangan.
  2. Seisi rumah Bapak, Ibu dan anak harus punya kesepakatan untuk mengelola perilakunya, sehingga bisa menahan diri agar anggota keluarga lainnya merasa aman dan tidak terancam tinggal di dalam rumah itu, harus ada kesepakatan diantara anggota keluarga bagaimana rumah itu tidak sampai menjadi sebuah neraka.
  3. Rumah kita harus menjadi "Rumah Ilmu" Bapak, Ibu dan anak setelah keluar rumah, lalu pulang membawa ilmu dan pengalaman dari luar, masuk kerumah berdiskusi dalam forum keluarga; saling bertukar pengalaman, saling memberi ilmu, saling melengkapi sehingga menjadi sinergi ilmu. Ketika keluar lagi dari rumah terjadi peningkatan kelimuan, wawasan dan cara berpikir akibat masukan yang dikumpulkan dari luar oleh semua anggota keluarga, di dalam rumah diolah, keluar rumah jadi makin lengkap.
  4. Rumah harus menjadi "Rumah pembersih diri" karena tidak ada orang yang paling aman mengoreksi diri kita tanpa resiko kecuali anggota keluarga kita. Kalau kita dikoreksi di luar resikonya terpermalukan, aib tersebarkan tapi kalau dikoreksi oleh istri, anak dan suami mereka masih bertalian darah, mereka akan menjadi pakaian satu sama lain.Oleh karena itu,barangsiapa yang ingin terus menjadi orang yang berkualitas, rumah harus kita sepakati menjadi rumah yang saling membersihkan seluruh anggota keluarga. Keluar banyak kesalahan dan kekurangan, masuk kerumah saling mengoreksi satu sama lain sehingga keluar dari rumah, kita bisa mengetahui kekurangan kita tanpa harus terluka dan tercoreng karena keluarga yang mengoreksinya.
  5. Rumah kita harus menjadi sentra kaderisasi sehingga Bapak-Ibu mencari nafkah, ilmu, pengalaman wawasan untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita sehingga kualitas anak atau orang lain yang berada dirumah kita, baik anak kandung, anak pungut atau orang yang bantu-bantu di rumah, siapa saja akan meningkatkan kualitasnya. Ketika kita mati, maka kita telah melahirkan generasi yang lebih baik. Tenaga, waktu dan pikiran kita pompa untuk melahirkan generasi-generasi yang lebih bermutu, kelak lahirlah kader-kader pemimpin yang lebih baik. Inilah sebuah rumah tangga yang tanggung jawabnya tidak hanya pada rumah tangganya tapi pada generasi sesudahnya serta bagi lingkungannya.

Jumat, 19 Agustus 2011

PENCATATAN NIKAH




Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum
Nikah di Bawah Tangan


Meski sah menurut agama, namun pernikahan di bawah tangan tidak barokah dan luput dari perlindungan hukum perkawinan.
Fenomena pernikahan di bawah tangan kembali menyeruak. Pemicunya bukan karena terkuaknya pernikahan di bawah tangah salah seorang selebritis dengan salah seorang mojang asal Bandung beberapa waktu lalu.

Kali ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur.

Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini cukup alot. Terhadap kasus tersebut, peserta ijtima’ sepakat bahwa pernikahan di bawah tangan hukumnya sah, karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun, nikah tersebut menjadi haram apabila di kemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya telantar.

“Persoalan ini hangat dibahas, karena ada peserta ijtima’ yang semangat sekali mengharamkan dan ada pula yang bergairah untuk menghalalkannya tanpa catatan harus mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA),” kata Ketua Panitia Pengarah Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II, KH Ma'ruf Amin. Kyai Ma’ruf ditemui hukumonline di ruang kerjanya di Sekretariat Dewan Syariah Nasional, kompleks perkantoran Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (16/10).

Kyai Ma’ruf yang juga sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI menambahkan, Komisi Fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam.

Ia menambahkan, nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan

Kalau nikah siri itu, lanjut Kyai Ma’ruf  mungkin hanya nikah berdua saja, tanpa ada saksi dan sebagainya. ”Kalau pengertian siri itu dianggap hanya berdua saja, tidak pakai syarat dan rukun nikah lainnya, bisa dipastikan pernikahan semacam ini tidak sah,” tandasnya.

Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Kyai Ma’ruf menegaskan bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, ”Haramnya itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga dia berdosa karena mengorbankan istri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah uniknya,” ujarnya.

Harus Dicatat
Nah, untuk mengantisipasinya, dalam Fatwa tersebut, MUI menganjurkan agar pernikahan di bawah tangan itu harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang. Hal ini sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/mudharat.

Dengan adanya pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah. Dan, ini penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak terutama soal pembagian harta waris, pengakuan status anak dan jika ada masalah, istri memiliki dasar hukum yang kuat  untuk menggugat suaminya.

Meski demikian, diakui Kyai Ma’ruf bahwa aturannya belum ada. Bahkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah ini tidak diatur. Nantinya, pencatatan itu dilakukan di kantor urusan agam (KUA) bukan di kantor catatan sipil. ”Saya waktu itu telah meminta kepada Menteri Agama agar masalah ini menjadi perhatian dan disiapkan peraturannya agar tidak menjadi kesulitan atau terjadinya korban gara-gara pernikahan ini tidak dicatat,” katanya.

”Bentuknya nanti apakah seperti akte nikah atau bentuk lainnya, saya tidak tahu karena aturannya memang belum ada. Atau di akte nikahkah atau khusus, ya semacam pemutihan, saya belum tahu. Karena ini belum ada form-nya,” tambahnya.

Langkah MUI ini diamini oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Abdus Salam Nawawi. Ia mengatakan, soal anjuran pencatatan ini sebenarnya sudah diatur dalam UU Perkawinan. Namun, dalam implementasinya masih kurang. Dan, ini sangat disayangkan.

Padahal, lanjutnya, pencatatan ini akan menjadi dokumen otentik atas peristiwa pernikahan dan akibat-akibat yang mungkin muncul seperti kelahiran anak dan sebagainya. ”Jika tidak ada bukti, pengadilan akan kesulitan memproses tuntutan istri kepada suami jika ada masalah,” ujarnya ketika dihubungi Hukumonline lewat telepon.

Selalu Menjadi Korban
Langkah MUI untuk mensahkan pernikahan di bawah tangah sekaligus anjuran untuk mencatatkan bukan tanpa alasan. ”Ini semata-mata untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari dampak pernikahan di bawah tangan,” ujar Kyai Ma’ruf.

Kepala Madrasah Ushul Fiqh Progresif Wahid Institute Abdul Moqsith Ghazali membenarkan pernyataan Kyai Ma’ruf. ”Nikah di bawah tangan itu dianggap ilegal oleh negara. Akibatnya, istri dan anak-anak tidak memiliki status hukum yang jelas,” ujarnya.

“Meski diakui secara agama maupun adat istiadat, pernikahan di bawah tangan dianggap tidak sah oleh negara”


Dipandang dari agama Islam, pada hakikatnya pernikahannya sah secara syari’at. Hanya tidak ada surat-surat resmi yang akan memperkuat ikatan pernikahan, karena tidak dilaporkan ke KUA.

Lalu, mengapa harus ada pencatatan? Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Adriana Venny beralasan, nikah model begini tidak mempunyai landasan yang kuat secara sosial. Akhirnya, seandainya salah satu di antara kedua pihak (suami atau istri-red) mengingkari adanya hubungan pernikahan mereka, maka dengan mudah bahtera rumah tangga pun bubar.

Misalnya bila suami tiba-tiba minggat, istri tidak bisa menuntut dia dengan melaporkannya ke pengadilan. Begitupun sebaliknya, bila istri menikah lagi dengan laki-laki lain, akan terjadi poliandri yang tentu saja lebih berbahaya lagi, karena dilarang secara syariat.

” Pernikahan di bawah tangan hanya menguntungkan suami/laki-laki dan akan merugikan kaum perempuan dan anak-anak ”


Dampak lainnya, akibat tidak mengikuti hukum negara, si perempuan tidak bisa menuntut hak waris, dan lainnya. Urusan talak bisa jadi terbengkalai. Jika begini jadinya, biasanya perempuan dan anak-anaklah yang paling menderita. Karena akta pernikahan biasanya selalu diminta untuk melengkapi administrasi sekolah, pencatatan kelahiran, dan keperluan lainnya.

Pencatatan pernikahan atau pembuatan akta pernikahan, secara syariat, bukanlah rukun atau syarat yang menentukan sahnya pernikahan. Namun adanya bukti autentik yang tertulis dapat menjadi salah satu alat memperkuat komitmen yang dibangun oleh pasangan tersebut. Walaupun memperkuat komitmen tidak terbatas pada aktanya, karena akta sendiri bisa dibatalkan melalui gugatan perceraian.

“Islam tidak mempersulit pernikahan. Bahkan bila pernikahannya sah, hak waris dan garis keturunan tidak terputus, walaupun tidak terdaftar berdasarkan hukum negara. Sehingga dampak hukum yang disangsikan pada pasangan nikah di bawah tangan terkesan dilebih-lebihkan, bahkan bisa dipandang keluar dari ajaran Alquran dan assunah,” katanya.

Perlu Amandemen
Di sisi lain, Venny menengarai adanya ketidakberpihakan hukum perkawinan kepada perempuan. Ia mencontohkan, di Barat, hukum perkawinan di sana mengatur mengenai Living Together, yang secara praktek hampir mirip dengan kawin di bawah tangan di Indonesia. UU tersebut menjamin hak perempuan, alimentasi, dan lainnya. Sehingga jika di kemudian hari terjadi ”perceraian”, hak perempuan di Barat tidak akan terabaikan.

Karena itu, menurut Venny amandemen hukum perkawinan menjadi hal mendesak yang harus diselesaikan. Salah satu poin yang harus dimasukkan adalah persoalan mengenai kawin kontrak dan di bawah tangan.  ”Semangat dari amandemen itu adalah untuk melindungi hak dan kepentingan pihak yang selalu dirugikan, yaitu perempuan,” tandas Venny.

Pandangan berbeda datang dari Ulama Quraish Shihab. Menurutnya UU Perkawinan yang ada saat ini sudah cukup baik. ”Kuncinya ada di klausul yang menyebutkan bahwa pernikahan yang sah adalah pernikahan yang sesuai dengan agamanya masing-masing. Tidak perlu ada sesuatu yang harus ditegaskan lagi atau ditambahkan”. Karena itu, Quraish sangat berharap agar setiap perkawinan yang dilakukan harus dicatatkan kepada pemerintah untuk memperoleh status hukum yang pasti.

Senin, 15 Agustus 2011

MEMILIH PASANGAN HIDUP



Terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan candaan atau main-main.
Rasulullah bersabda artinya : "Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius : nikah, cerai dan rujuk." Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah, jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahawa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup. sungguh sayang anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran dan semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi memilih pasangannya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita cantik untuk dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya untuk mendapatkan hartanya. Yang terbaik tentu adalah apa yang dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan.
    Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan isteri dengan kriteria sebagai berikut :

1. Taat Kepada Allah Dan Rasul-Nya

    Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah SWT berfirman, artinya : " Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa"(QS. Al-Hujurat: 13). Rasulullah pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya, artinya : "Wanita biasanya dinikahi karena empat hal : Karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi".(HR. Bukhari-Muslim).
    Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh allah dan apasaja yang dilarang oleh-Nya ?. Maka disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya. Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah SAW bersabda, artinya : " Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama". (HR Bukhari-Muslim).

2. Al Kafa'ah (Sekufu/setara).

    Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa'ah secara bahasa adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya. (Lisanul arab, Ibnu Manshur). Al Kafa'ah secara syariat  menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. banyak dalil yang menunjukan anjuran ini. Diantaranya firman Allah SWT artinya : "Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. dan laki-lkai yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula". (QS. An Nur: 26).

3. Menyenangkan jika dipandang

    Rasulullah SAW dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciftakan ketentraman dalam hati. Allah SWT berfirman, artinya : " Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciftakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tentram dengannya". (QS. Ar Ruum : 21). Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW juga menyebutkan 4 ciri wanita shalihah yang salah satunya, artinya: " Jika memandangnya, membuat suami senang". (HR Abu Dawud).
    Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa ia kan melamar seorang wanita anshor. Beliau bersabda, artinya : " Sudahkah engkau melihatnya?" Sahabat tersebut berkata, " belum". Beliau lalu bersabda, " pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu". (HR. Muslim).

4. Subur (Mampu menghasilkan keturunan).

    Diantara hikmah dari pernikahan adaalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemualiaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi  orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh Karena itulah, Rasulullah SAW menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur, artinya : " Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku akan berbangga dengan banyaknya ummatku". (HR. An Nasa'i, Abu dawud dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih).
    Karena alasan ini juga sebagian ulama (para ahli fikih) berpendapat bolehnya Faskhu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sa'di berkata : " Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa) (lihat manhajus Salihin Bab 'Uyub fin Nikah hal 202).