Selasa, 12 Juni 2012

Ibadah


Menumbuhkan Nikmatnya Ibadah !
Oleh :
Sunaryo Sarwoko, S.Sos
 Disampaikan dalam acara pra manasik haji, di KUA Bandung Wetan, Rabu, 09 Mei 2011 M

Ibadah merupakan sebuah kalimat yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita,  kita sudah sangat sering mendengar kalimat tersebut dari para da’i maupun dari berbagai bahan referensi yang pernah kita baca. Secara kebahasaan, ibadah  berasal dari kalimat bahasa arab, `abdun’ atau ‘abd’, yang berarti taat, tunduk, menyembah dan memperhambakan diri.
Sedangkan maknanya secara umum, kalimat ibadah sendiri mengandung arti  diorientasikannya  seluruh aktivitas kita, baik fisik maupun rohani, untuk senantiasa mengikuti, mentaati dan mematuhi segala syariat yang diturunkan Allah Swt. melalui para nabi dan rasulnya, disertai penghambaan dan rasa cintanya.
Penciptaan manusia mempunyai tujuan yang telah ditentukan oleh Allah Swt. yaitu melaksanakan ibadah kepada-Nya, “Dan Aku Tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (menyembah) kepada Ku”. (QS. 51: 56). Allah mengutus para nabi dan rasul, untuk berdakwah atau menyeru ummatnya agar beribadah kepada Allah dan melarang menyembah kepada selain-Nya, “Sungguh Kami mengutus seorang rasul pada setiap kelompok manusia untuk menyerukan beribadalah kepada Allah saja dan tinggalkan thoghut”. (QS. An Nahl : 36). Bahkan dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan padanya bahwa tidak ada sesembahan yang haq diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku”. (QS. Al Anbiya’:25)
Ibadah pada dasarnya, diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni, ibadah khos (khusus) dan ibadah ‘aam (umum). Ibadah  ibadah khos (khusus) ialah ibadah yang berkaitan dengan pelaksanaan arkanul Islam, seperti  syahadatain, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ‘aam (ibadah umum) adalah segala aktivitas yang  titik tolaknya adalah keikhlasan  yang ditunjukan untuk mencapai ridho Allah  berupa amal shaleh (Muhaimin, 1994 : 257). Senada dengan hal tersebut, para  ulama juga membagi ibadah dalam beberapa klasifikasi lain, yakni :

1.        Ibadah ‘Itiqodiyah / Qolbiyah (keyakinan)
Ibadah ‘Itiqodiyah seperti berkeyakinan bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. (QS 47:19), Cinta kepada Allah (QS 2:165), Takut kepada Allah serta mengaharapkan rahmatnya. (QS 70:27-28), Inabah (kembali) kepada Allah (QS 39:54 ), Tawakal dan meminta pertolongan kepada Allah (QS 1:5; QS 64:13 )
2.   Ibadah Qouliyah (lisan)
Ibadah Qouliyah seperti Mengucapkan dua kalimah Syahadat, Dzikir kepada Allah tasbih dan istighfar. (QS 33:41-42), Bersumpah dengan nama Allah, berdoa dan minta pertolongan kepada Allah. (QS 40:60), Dakwah kepada Allah dan Amar makruf Nahi Mungkar (QS 41:33; QS 3:104)
3.   Ibadah Amaliyah
      Ibadah Amaliyah seperti Mendirikan Solat (QS 98:5), Menunaikan Zakat (QS 2:110), Puasa Ramadhan (QS 2:183), Haji ke Baitullah bagi yang mampu (QS 3:97), Berhukum dengan hukum Allah (QS 12:40), Berjihad di jalan Allah (QS 2:216; QS 13:142), Bernazar untuk Allah (QS 76:7), Tawaf di Baitullah (QS 22:29).

Secara khusus Ibnu Taimiyyah juga memaparkan bahwa ibadah adalah nama yang menggabungkan setiap perkara yang di sukai dan diridhoi Allah dari jenis perkataan ataupun perbuatan lahir dan batin. Menurutnya, sholat, zakat, puasa, haji, berkata benar, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menghubungkan sillaturrahim, menepati janji, menyuruh kepada kebaikan, mencegah pada kejahatan, berperang menentang orang kafir dan munafik, berdoa, berzikir, membaca  Al Quran, membela hak-hak anak yatim, orang miskin, musafir, dan hamba sahaya, semuanya itu termasuk sebahagian dari ibadat.

Menumbuhkan Nikmatnya Ibadah.

Pada prinsipnya, ibadah memiliki cakupan yang sangat luas.  Dari cakupan yang demikian luas itu, sudahkan kita merasakan nikmatnya ibadah? Terkadang kita melihat saudara-saudara kita begitu khusyuk dalam sholatnya, tenang dan penuh penghayatan, hingga tak sadar berlinanglah air matanya.  Kita juga mungkin pernah mendengar, ada saudara kita yang selalu mendermakan hartanya secara diam-diam, ia tidak merasa rugi hartanya disedekahkan kepada orang lain dan  ia tidak peduli tak ada orang yang memujinya, tapi ia begitu menikmati hal tersebut sebagai bentuk kecintaannya  terhadap  Allah, Rasul, dan sesamanya.
Bagi orang-orang yang telah merasakan nikmatnya ibadah, seberat apa pun ibadah tersebut, namun seolah sangat ringat dan mudah dilakukan. Rasulullah Saw. sendiri merupakan orang yang sangat menikmati ibadahnya, perhatikanlah uraian  hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim berikut ini.  Rasulullah Saw. pernah  melaksanakan shalat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Ketika Aisyah ra. bertanya, “Mengapa engkau melakukan hal itu ya rasulullah? bukankah Allah sudah mengampuni dosamu yang sudah lalu dan yang akan datang?” Rasulullah Saw. menjawab : “Bukankah sepantasnya aku menjadi hamba yang bersyukur?.
            Sudahkah kita merasakan nikmatnya ibadah? Inginkah kita menikmati ibadah-ibadah yang kita lakukan, sebagaimana  Rasulullah Saw. dan para sahabat lainnya? Kata kuncinya adalah ikhlas.  Ketika kita beribadah, ikhlaskan niat semata-mata hanya karena Allah Swt.,  jangan terjebak hanya karena menginginkan pahala, surga atau karena takut dengan siksa-Nya.  Yakinilah, pahala  dan surga akan menjadi milik kita, tatkala kita beribadah  dengan benar dan penuh keikhlasan. 
Ketika kita beribadah kepada Allah Swt. kita tidak perlu  itung-itungan, karena sekecil apa pun ibadah yang kita lakukan, Allah Swt. pasti akan membalasnya.  Menghiasi hati dengan keikhlasan, akan mampu meringankan ibadah apa pun yang kita laksanakan. Ingatlah, Allah Swt. Maha Kuasa, Allah senantiasa memantau dan mengawasi kita,  Rasulullah Saw. bersabda, “...Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun jika engkau tidak dapat (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau....”.( HR. Muslim). 
Jangan sampai kita rajin beribadah dikala senang, atau justru kita menjadi malas beribadah tatkala memperoleh banyak ujian dan musibah. Allah Swt. menyindir orang-orang yang demikian dalam firman-Nya, “Sebahagian daripada manusia yang menyembah Allah secara tidak tetap, bila mendapat kebaikan dia teruskan dan bila terkena kesusahan dia berpaling tadah. Rugilah dia di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang amat nyata”. (QS. Al-Hajj: 11). Wallahu’alam bishawab.

Jumat, 01 Juni 2012

AKHLAK


AKHLAK DALAM PANDANGAN ISLAM
Disampaikan Dalam Bimbingan Pra Manasik Calon Jama’ah Haji
Kecamatan Bandung Wetan Tahun 2012
(Oleh : Asep Saripudin, SH.I)
       A.   PENGERTIAN AKHLAK

1.    Secara Bahasa (etimologi)
Dilihat dari sudut etimologi perkataan “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) berasal dari bahasa Arab jama’ dari “Khuluqun “ ( خُلُقٌ ) yang menurut lughat diartikan adat kebiasaan ( al-adat ), perangai, tabi’at ( al-sajiyyat ), watak ( al-thab ), adab / sopan santun ( al-muru’at ), dan agama ( al-din ). Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “ Khalqun “ ( خَلْقٌ ) yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan “ Khaliq “ ( خاَلِقٌ ) yang berarti pencipta dan “ makhluq “ ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang di ciptakan.
Dari sinilah asal mula perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi ugeran yang memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara Makhluk dengan Khaliq dan antara Makhluk dengan makhluk . Bahkan dalam kitab ” al-Mursyid al-Amin Ila Mau’idhah al-Mu’min ” telah dijelaskan perbedaan antara kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ) dengan kata ” al-Khuluqu ” (اَلْخُلُقُ) sebagai berikut :
“Dikatakan : Fulan itu baik kejadiannya dan baik budi pekertinya ” , maksudnya baik lahir dan batinnya. Yang dimaksud ” baik lahir ” yaitu baik rupa atau rupawan, sedang yang dimaksud ” baik batin ” yaitu sifat-sifat kebaikan ( terpuji ) yang menghalalkan atas sifat-sifat tercela ” .
Jadi jelas bahwa kata ” al-Khalqu ” ( اَلْخَلْقُ) itu mengandung arti kejadian yang bersifat lahiriah seperti wajah seseorang yang bagus atau yang jelek. Sedangkan kata ” al-Khuluqu ” ( اَلْخُلُقُ) atau jamak dari “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ) itu mengandung arti budi pekerti atau pribadi yang bersifat rohaniah seperi sifat-sifat terpuji atau sifat-sifat tercela . Bahkan Ibnu Athir dalam kitabnya “An-Nihayah” telah menerangkan bahwa : “Hakikat makna khuluqun (خُلُقٌ) itu ialah gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang makna khalqun (خَلْقٌ) merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan sebagainya)”.
Dengan perumusan pengertian “ Akhlak “ ( أَخْلاَقٌ ) di atas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi adanya hubungan baik antara Khaliq ( خاَلِقٌ ) yang berati pencipta dengan makhluq ( مَخْلُوْقٌ ) yang berarti yang diciptakan secara timbal balik, kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk hablum minallah yang verbal ini, maka lahirlah pola hubungan antar sesama manusia disebut dengan hablum minannas.
Jadi berdasarkan sudut pandang etimologi definisi “Akhlak” ( أَخْلاَقٌ) dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun, tata karma. Akhlak adalah sifat (potensi) yang dibawa setiap manusia sejak lahir; artinya, sifat (potensi) tersebut sangat tergantung dari cara pembinaan dan pembentukannya. Apabila pengaruhnya itu positif maka outputnya adalah akhlak Mahmudah terpuji) dan sebaliknya apabila pembinaannya itu negatif, yang terbentuk adalah akhlak mazdmumah (tercela) . Sebagaimana firman Allah SWT :
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Asy-Syam : 8)
2.     Secara Istilah (Terminologi)
Dilihat dari segi terminologi “ Akhlak “ (أَخْلاَقٌ  ) terdapat beberapa pakar yang berpendapat antara lain :
a.    Abu Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ya’qub Miskawaih : Akhlak ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pemikiran terlebih dahulu “.[1]
b.    Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali : Suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat memunculkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran.[2]  
c.     Ibrahim Anis : Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang melahirkan bermacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.[3]
d.    Ahmad Amin : Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak.[4]
e.    Muhammad Abdullah Dirros : Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (akhlak yang jahat)”. Selanjutnya perbuatan-perbutan manusia yang dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dengan dua syarat, yaitu :
Pertama, Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.
Kedua, Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan    emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang dating dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah danlain sebagainya.[5]  
Dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tabiat, sifat seseorang atau perbuatan manusia yang bersumber dari dorongan jiwanya yang sudah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar sudah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan serta di angan-angan lagi.
Sebab akhlak merupaka ”kehendak ” dan ” kebiasaan ” manusia yang menimbulkan kekuatan-kekuatan yang sangat besar untuk melakukan sesuatu. Kehendak merupakan keinginan yang ada pada diri manusia setelah dibimbing, dan kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah untuk melakukannya. Oleh karena itu faktor kehendak atau kemauan memegang peranan yang sangat penting sebab dengan adanya kehendak tersebut telah menunjukkan adanya unsur ikhtiar dan kebebasan, yang karenanya dapat disebut dengan ” akhlak ”.[6]
Yang dimaksud dengan sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan serta di angan-angan lagi, disini bukan berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak di kehendaki.
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu benar-benar sudah merupakan azimah yakni kemauan yang kuat tentang sesuatu perbuatan, oleh karenanya jelas bahwa perbuatan itu memang sengaja di kehendaki adanya. Hanya saja keadaan yang demikian ini dilakukan secara kontinyu, sehingga sudah menjadi adat / kebiasaan untuk melakukannya, karenanya timbullah perbuatan itu dengan mudah tanpa difikirkan lagi, begitu juga karena bentuknya tidak kelihatan sehingga dapat dikatakan bahwa Akhlak adalah nafsiah (bersifat kejiwaan) atau maknawiyah (sesuatu yang abstrak), sedangkan bentuknya yang kelihatan dinamakan mu’amalah (tindakan) atau suluk (prilaku) maka dari itu bentuknya akhlak adalah sumber dan prilaku tersebut.
Dengan demikian secara substansial bahwa perbuatan yang termasuk akhlak mempunyai lima ciri antara lain :
1.    Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadian.
2.    Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
3.    Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4.    Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara, seperti dalam film.
5.    Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khusus akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah Swt, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.[7]
B.   DALIL DALIL TENTANG AKHLAK
Adapun yang menjadi sumber dari akhlak tidak lain adalah Alquran alkarim dan sunnah Nabi. Yang diantaranya:
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ  
dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. Al-Qolam : 4)
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al- Ahzab : 21 )
Ÿwur ÈqtGó¡n@ èpoY|¡ptø:$# Ÿwur èpy¥ÍhŠ¡¡9$# 4 ôìsù÷Š$# ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& #sŒÎ*sù Ï%©!$# y7uZ÷t/ ¼çmuZ÷t/ur ×ourºytã ¼çm¯Rr(x. ;Í<ur ÒOŠÏJym ÇÌÍÈ  
dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” ( QS. Fushshilat : 34 )

Sa’ad bertanya :"Wahai Ummul mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam!.' 'Aisyah menjawab; "Bukankah engkau telah membaca Alquran?" Aku menjawab; "Benar, " Aisyah berkata; "Akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Al Quran." 

Rasululloh SAW bersabda : Kebaikan itu adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa itu adalah apa yang menimbulkan keraguan dalam hatimu dan kamu tidak senang jika orang lain melihat itu.


C.    PEMBAGIAN AKHLAK DALAM ISLAM

Pembagian akhlak yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menurut sudut pandang Islam, baik dari segi sifat maupun dari segi objeknya.
Dari segi sifatnya, akhlak dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Akhlak Mahmudah
Akhlak mahmudah adalah tingkah laku terpuji yang merupakan tanda keimanan seseorang. Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji ini dilahirkan dari sifat-sifat yang terpuji pula”.
Sifat terpuji yang dimaksud adalah, antara lain: cinta kepada Allah, cinta kepda rasul, taat beribadah, senantiasa mengharap ridha Allah, tawadhu’, taat dan patuh kepada Rasulullah, bersyukur atas segala nikmat Allah, bersabar atas segala musibah dan cobaan, ikhlas karena Allah, jujur, menepati janji, qana’ah, khusyu dalam beribadah kepada Allah, mampu mengendalikan diri, silaturrahim, menghargai orang lain, menghormati orang lain, sopan santun, suka bermusyawarah, suka menolong kaum yang lemah, rajin belajar dan bekerja, hidup bersih, menyayangi inatang, dan menjaga kelestarian alam.
2. Akhlak Madzmumah
Akhlak madzmumah adalah tingkah laku yang tercela atau perbuatan jahat yang merusak iman seseorang dan menjatuhkan martabat manusia.
Sifat yang termasuk akhlak mazmumah adalah segala sifat yang bertentangan dengan akhlak mahmudah, antara lain: kufur, syirik, munafik, fasik, murtad, takabbur, riya, dengki, bohong, menghasut, kikil, bakhil, boros, dendam, khianat, tamak, fitnah, qati’urrahim, ujub, mengadu domba, sombong, putus asa, kotor, mencemari lingkungan, dan merusak alam.
Demikianlah antara lain macam-macam akhlak mahmudah dan madzmumah. Akhlak mahmudah memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, sedangkan akhlak madzmumah merugikan diri sendiri dan orang lain. Allah berfirman dalam surat
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ   ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu Ÿ@xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ  
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),.Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (At-Tin : 4-6.).
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda. Yang artinya: “Sesungguhnya manusia yang berakhlak mulia dapat mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan mulia di Akhirat. Sesungguhnya orang yang lemah ibadahnya akan menjadi buruk perangai dan akan mendapat derajat yang rendah di neraka Jahanam.” (HR. Thabrani).
Kemudian, dari segi objeknya, atau kepada siapa akhlak itu diwujudkan, dapat dilihat seperti berikut:

  1. 1.    Akhlak kepada Allah, meliputi antara lain: ibadah kepada Allah, mencintai Allah, mencintai karena Allah, beramal karena Allah, takut kepada Allah, tawadhu’, tawakkal kepada Allah, taubat, dan nadam.
  2. 2.    Akhlak kepada Rasulullah saw., meliputi antara lain: taat dan cinta kepda Rasulullah saw.
  3. 3.    Akhlak kepada keluarga, meliputi antara lain: akhlak kepada ayah, kepada ibu, kepada anak, kepada nenek, kepada kakek, kepada paman, kepada keponakan, dan seterusnya.
  4. 4.    Akhlak kepada orang lain, meliputi antara lain: akhlak kepada tetangga, akhlak kepada sesama muslim, kepada kaum lemah, dan sebagainya.
  5. 5.    Akhlak kepada lingkungan, meliputi antara lain: menyayangi binatang, merawat tumbuhan, dan lain-lain.
Sedangkan Menurut H. Muhammad Daud Ali dalam bukunya “Pendidikan Agama Islam” telah membagi akhlak berdasarkan objeknya menjadi dua macam, yaitu :
a. Akhlak terhadap Allah, antara lain :

1). Mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapapun juga dengan mempergunakan firman-Nya sebagai pedoman hidup dan kehidupan. 2) Melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. 3) Mengharapkan dan berusaha memperoleh keridhoan Allah.4) Mensyukuri nikmat dan karunia Allah. 5) Menerima dengan ikhlas semua qodho’ dan qodar setelah berikhtiar maksimal (sebanyak-banyaknya, hingga batas tertinggi) 6) Memohon ampun hanya kepada Allah.7) Bertaubat kepada Allah.8) Tawakkal (berserah diri kepada Allah)
b. Akhlak terhadap Makhluk, dibagi dua, yaitu :
1) Akhlak terhadap manusia, dapat dirinci menjadi :
a) Akhlak terhadap Rosulullah (Nabi Muhammad), antara lain :
(1) Mencintai Rosulullah secara tulus dengan mengikuti semuasunnahnya.(2) Menjadikan Rosulullah sebagai idola, suri teladan dalam hidupdan kehidupan.(3) Menjalankan apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yangdilarangnya.
b) Akhlak terhadap orang tua, antara lain :
(1) Mencintai mereka melebihi mencintai kerabat lainnya.(2) Menrendahkan diri kepada keduanya diiringi dengan perasaankasih sayang.(3) Berkomunikasi dengan orang tua dengan hikmat, mengunakankata-kata lemah lembut.(4) Mendoakan keselamatan dan keampunan bagi merekakendatipun seorang atau kedua-duanya meninggal dunia.
c) Akhlak terhadap diri sendiri, antara lain :
(1) Memelihara kesucian diri.(2) Menutup aurat (bagian tubuh yang tidak kelihatan, menuruthukum dan akhlak Islam).(3) Jujur dalam perkataan dan perbuatan(4) Ikhlas(5) Sabar(6) Rendah hati, (7) Malu melakukan perbuatan jahat.(8) Menjauhi dengki.(9) Menjauhi dendam(10) Berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain.(11) Menjauhi segala perkataan dan perbuatan sia-sia.
d) Akhlak terhadap keluarga, karib kerabat, antara lain :
(1) Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupankeluarga.(2) Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak.(3) Berbakti kepada ibu-bapak.(4) Mendidik anak-anak dengan kasih sayang.(5) Memelihara hubungan silaturrahim dan melanjutkansilaturrahmi yang dibina orang tua yang telah meninggal dunia.
e) Akhlak terhadap tetangga, antara lain :
(1) Saling mengunjungi(2) Saling membantu di waktu senang lebih- lebih tatkala susah.(3) Saling member(4) Saling menghormati(5) Saling menghindari pertengkaran dan permusuhan.f) Akhlak terhadap masyarakat, antara lain :(1) Memuliakan tamu, (2) Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakatbersangkutan.(3) Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa.(4) Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiriberbuat baik dan mencegah kemungkaran.(5) Memberi makan fakir miskin dan berusaha melapangkan hidupdan kehidupannya.(6) Bermusyawarah dalam segala urusan mengenai kepentinganbersama.(7) Mentaati putusan yang diambil (8) Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaanyang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita(9) Menepati janji
2) Akhlak terhadap lingkungan hidup, antara lain :
a) Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup.
b) Menjaga dan memanfaatkan alam, terutama hewani dan nabati, fauna dan flora yang sengaja diciptakan Tuhan untuk kepentinganmanusia dan makhluk lainnya.
c) Sayang pada sesama makhluk.


[1] Abu Ali Ibnu Muhammad Ibnu Ya’qub Miskawaih ( 1934 ). Tahdzib  al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, Mesir : al-Mathba’ah al-Misriyah, hal : 40
[2] Abu Hamid Muhammad al-Ghozali ( t.t ). Ikhya’ Ulumuddin, III, Bairut : Darul Fikr, hal : 56.
[3] Ibrahim Anis ( 1972 ). al-Mu’jam al-Wasith, Mesir : Dar al-Ma’arif, hal : 202.
[4] Ahmad Amin ( 1967 ). Kitab al-Akhlaq, Kairo : an-Nahdlah al-Misriyah, hal : 50.
[5] Humaidi Tatapangarsa ( 1979 ). Pengantar Kuliah Akhlak, Surabaya : Bina Ilmu, hal : 10.
[6] M. Zein Yusuf ( 1993 ). Akhlak Tasawuf, Semarang : al-Husnah, hal : 7.
[7] Abuddin Nata ( 2006 ). Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada,  hal : 4-6.