Kamis, 04 Juli 2013

KAJIAN TENTANG AKAL DAN HATI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN


Manusia seperti disebutkan dalam Al-Quran, diberikan kesempurnaan untuk menjadi Khalifah dimuka bumi ini. Kesempurnaan manusia itu telah di bekali oleh Alloh dua serangkai yang saling bekerjasama, yaitu akal dan hati. ALLAH Swt. menciptakan manusia dengan akal dan hati yang membuatnya berbeda dengan makhluk lainnya.
Akal dan hati ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Apa yang tidak dikuasai akal dapat dilakukan dengan hati, karena hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Dengan kata lain, ketajaman akal harus diimbangi dengan kecerdasan hati. Dalam menentukan sesuatu, keduanya harus terus berdialog tanpa putus. Jika salah satu tidak berfungsi, maka yang terjadi adalah ketersesatan hati dan keblingeran akal.

Akal dan Hati merupakan dua alat berfikir. Yang satu berfikir melalui logika rasio dan yang satu lagi berfikir melalui logika rasa, yang satu memilah salah dan benar sementara yang satu lagi memilah baik dan buruk, begitu kata Al-Ghazali. Dua-duanya merupakan alat dan sumber epistem pengetahuan, begitu kata Murtadha Muthahari. Yang tentu saja di samping alat Indra kita sebagai alat untuk menangkap realitas yang seterusnya ditafsir ulang oleh akal dan hati.

Kedua piranti dalam diri kita ini sangat dianjurkan untuk berjalan satu kata untuk tujuan keselarasan diri. Namun demikian, persoalannya adalah, kadang keduanya tidak seimbang. Penyebabnya banyak, bisa karena kurangnya pembekalan akal, atau juga kurangnya pembekalan hati. Apabila suatu saat terjadi kerusakan karena kelalaian salah satu dari keduanya maka akan terjadi ketidakseimbangan diri. Kekuatan utama kendali biasanya akal dan hati. Keduanya berupaya untuk menempatkan posisi dominan dalam diri kita. Ragu muncul karena perbedaan pendapat antara akal dan hati.

Di dalam diri kita akal sebagai pusat logika sifatnya pasti dan kadang kaku tapi obyektif. Hati sebagai pusat nurani, rasa, terkadang ada keraguan , labil dan subyektif.

Akal mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memutuskan sesuatu. Dengan akal, manusia dapat berfikir, baik itu memikirkan dirinya, orang-orang disekitarnya juga alam semesta. Dengan akal, manusia berupaya mensejahterakan diri dan meningkatkan kualitas kehidupannya.

Pentingnya mendayagunakan akal sangat dianjurkan oleh Islam. Tidak terhitung banyaknya ayat Alqur’an dan Hadis Rasulullah saw. yang mendorong manusia untuk selalu berfikir dan merenung. Manusia tidak hanya disuruh memikirkan dirinya, tetapi juga dipanggil untuk memikirkan alam jagad raya. Dalam konteks Islam, memikirkan alam semesta akan mengantarkan manusia kepada kesadaran akan ke-Mahakuasaan Sang Pencipta (ALLAH Swt). Seperti sabda Rasulullah saw. al-din aql, la dina liman la aql lah (Agama adalah manifestasi akal, maka tidak dianggap beragama orang yang tidak berakal).
Kata ‘aql yang mula-mula hanya berhubungan dengan kecerdasan praktis dan berguna untuk “mengikat” atau “menahan” memperoleh pemadatan makna dalam Al-Qur’an. Kata ini disebut 49 kali dalam 28 Surah : 31 kali dalam 19 Surah yang diturunkan di Makkah tempat kehidupan kaum Musllim berada pada suasana kaotis, dan 18 kali dalam 9 Surah yang diturunkan di Madinah ketika struktur kehidupan kebudayaan kaum muslim dikatakan sudah mapan.
Akal sangat padat maknanya dalam Al-Quran, dan digunakan secara luas oleh para pemikir Muslim. Berfungsinya akal memiliki signifikansi ibadah. Sehingga orang gila (yang dianggap “kehilangan” akal) akan dianggap tidak layak beribadah. Ibadahnya tidak berguna karena tidak dilakukan dengan kesadaran.
Sedangkan merujuk pada SQ-nya Danah Zohar jika Akal dan Hati telah sejalan digunakan untuk alat berfikirnya dalam menjalankan kehidupan termasuk juga dalam menjalankan kehidupan agama kita maka akan dicapai puncak spiritual dan itulah yang telah dilakukan oleh Ummul Ulama Al-Ghazali yang telah menyatukan antara filsafat dan tasauf yang satu berbasis pada akal dan satu lagi berbasis pada hati.

Oleh karena itulah ilmuwan sekelas Einstein pernah mengatakan bahwa kedua alat episteme tersebut harus selalu berjalan bareng dan beriringan. Ia mengatakan, Agama tanpa akal maka akan lumpuh dan Ilmu tanpa agama akan buta. Dalam pandangan saya pernyataan dari Einstein tersebut berkaitan dengan penggunaan kedua episteme tersebut.

Al-Qardlawi menyatakan bahwa akal dan hati dianggap sebagai wahana terpenting yang dapat membantu manusia menciptakan peradaban dibumi dan melaksanakan tugas kekhalifahan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kata kunci dari perkataaan Qardlawi tersebut adalah akal dan hati. Gabungannya bermuara kepada ilmu pengetahuan dan sains, baik dari segi ontologi, epistimologi maupun aksiologinya. Ontologi berkaitan dengan kajian tentang apa yang menjadi objek ilmu pengetahuan dan sains. Epistimologi berkaitan dengan kajian tentang tata cara memperoleh ilmu pengetahuan dan sains itu. Dan aksiologi berkaitan dengan perihal penerapan keduanya dalam bentuk kehidupan manusia yang nyata.

Akal yang diciptakan Allah untuk berfikir dan mencari rahasia alam semesta yang indah dan penuh dengan ilmu pengetahuan yang harus dipelajari , digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia. Tanpa berfikir dan mempergunakan akalnya dan hatinya manusia tidak akan berkembang sesuai dengan fitrahnya.

Akal yang merupakan anugerah terindah, tertinggi dan terhebat bagi manusia, pembeda antara kita dengan hewan, sebuah alat yang difungsikan untuk berfikir; mengamati, mengolah data, menyimpan data dan lain-lain tak terhingga manfaatnya, benar-benar harus kita syukuri kepemilikan ini.

Definasi akal ialah kekuatan untuk melahirkan keputusan (Kesimpulan) tentang sesuatu realiti. Kesimpulannya, akal adalah berfikir ataupun berfikir adalah akal. Yang terhasil apabila berlaku, Perpindahan realiti yang telah diinderai oleh 5 pancaindera ke dalam otak dan kemudian dihubungkan dengan maklumat awal yang tersimpan di dalam otak itu.
Berfikir terdiri daripada 4 komponen yaitu:

1.         Realiti/objek: Sesuatu yang berlaku dalam bentuk visual atau bunyian ataupun sentuhan atau rasa atau bau-bauan dan sebagainya.
2.         Lima pancaindera. Seperti mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, lidah untuk rasa, kulit untuk sentuhan dan hidung untuk menghirup.
3.         Otak: Untuk mengaitkan realiti dengan maklumat awal serta menyimpan data-data maklumat yang didapati.
4.         Maklumat Awal: Kefahaman sesuatu fakta yang mempunyai ciri-ciri khas yang disesuaikan Pola Berfikirnya (Cara Berfikirnya).

Ilmu cenderung diidentikan dengan eksplorasi akal untuk menemukan hukum-hukum Tuhan di alam raya ini, Sementara Agama pada sejarahnya yang konvensional berbicara pada masalah baik dan buruknya suatu perilaku dan sikap berkaitan dengan kehidupannya. Oleh karena itu Agama diidentikan dengan penggunaan hati yang dapat memilah antara yang baik dan buruk.

Namun demikian merujuk pada sejarah peradaban manusia terkadang kita melihat pada satu pendapat tokoh, terlepas pendapatnya tersebut berangkat dari sporadic pendapatnya saja atau yang berpijak pada penelitian, cenderung seringkali mengagungkan satu alat episteme dan menghilangkan peran satu alat episteme lain. Ilmu Episteme yang kita kenal dengan epistemology atau ilmu yang mengulas bagaimana suatu ilmu itu didapatkan melaui cara seperti apa dan bagaimana merupakan pertentangan antara akal dan hati.

Dalam sejarah dunia modern, ribuan tahun setelah Sokrates, Aristoteles dan Plato hidup, atau setelah filsuf China Lao Tze dan Konfutze melahirkan peradaban seolah mengulang mbah moyangnya tersebut bahwa Dunia merupakan hasil pertentangan antara akal dan hati.

Ingatkah kita akan pemujaan terhadap IQ? Bahwa IQ akan menentukan sukses seseorang, bukankah ini merupakan pemujaan terhadap Akal? Namun hasil penelitian tersebut sirna sudah setelah Daniel Goleman menerbitkan buku Kecerdasan Emosi yang berpijak pada alat episteme hati. Justeru menurut Goleman tersebut bahwa Kecerdasan Emosilah (bisa membedakan baik-buruk) yang dapat mendorong sukses seseorang, IQ menurutnya hanya menyumbangkan 6 % kesuksesan saja. Seorang yang ber-IQ tinggi jika tidak bisa bagaimana berprilaku dalam kehidupannya niscaya tidak akan pernah sukses.

Kini di Jaman keringnya hati yang telah dirasakan oleh sebagian kalangan Barat, karena terlalu memper-tuhankan Akal sebagai alat episteme/ basis manusia modern, ia pun melirik dunia Timur yang kaya dengan spiritual. Spiritual adalah penyatuan antara Akal dan Hati. Akal dan Hati saling menuntun agar yang satu tidak sesat dan yang lain tidak lumpuh.

Dalam Al-Qur’an bahwa orang beriman dianjurkan/ diperintahkan untuk berfikir, memikirkan alam raya ini sebagai sumber kehidupannya. Oleh karena itulah Nabi berpesan jika seseorang ingin selamat dunia Akhirat maka harus berpegang pada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dalam penafsiran saya sekali lagi, di dalam Al-Qur’an banyak perintah dan kebajikan yang harus diterima dengan hati (yang tidak usah diperdebatkan lagi, di samping akal) juga hadits sebagai perkataan/ perilaku/ hasil pemikiran Nabi Muhammad. Sementara sebagai wujud dari arena berfikir dari keumumuman dari kedua sumber hukum Islam tersebut, para ulama harus menggunakan epistemenya yaitu akal dan hati untuk menghasilkan suatu Ijtihad yang berlandaskan pada kemaslahatan ummat.
Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging, Jika ia baik maka baiklah tubuh itu seluruhnya, dan anggota anggota tubuh yang lain akan membuatnya baik, Ia adalah Hati”.
Dari hadits di atas bisa di pahami, bahwa dalam tubuh manusia yang paling pokok adalah hati. Ia adalah pemimpimpin yang di patuhi dalam dunia tubuh. Anggota tubuh lainya hanyalah bagikan rakyat yang saling dukung mendukung.
Dengan demikian jika ingin meraih sukses sesuai dengan agama yang kita anut, tentu Akal dan Hati tidak boleh dipisah-pisahkan apalagi yang satunya dibuang jauh-jauh. Hanya menggunakan Akal, hati menjadi kering selalu berfikir benar-salah, sementara hanya berfikir dengan hati hanya mempertimbangkan baik dan buruk tanpa peduli benar dan salah. Yang Baik tentu harus benar dan sebaliknya yang benar tentu harus baik.

Namun demikian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah hati yang bagaimana yang dapat menunjukkan kebenaran dari Allah…???

Dalam Alqur’an ALLAH menggambarkan manusia yang mempunyai hati namun hatinya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya [Q.S. 7:179; 22:46], mempunyai hati namun keras seperti batu [Q.S. 2: 74].

Cara yang terbaik adalah kita upayakan agar kedua piranti dalam diri kita tersebut diberikan porsi yang seimbang. Yaitu, kapan kita menggunakan akal, kapan kita menggunakan hati. Dari hal ini pun dapat dikemukakan bahwa bila akal tidak kuasa melakukan fungsinya, maka gunakan hati.

Pada akhirnya, akal dan hati harus dipadukan secara harmoni. Disamping pentingnya akal dalam menemukan suatu kebenaran juga diperlukan ilham atau petunjuk Tuhan yang diberikan kepada manusia yang datang dari kebeningan hati. Jika kedua ciptaan Allah tersebut dapat digabungkan, maka akan lahirlah seseorang yang berfikir rasional, filosof sekaligus sufi yang pikirannya tinggi mengentas galaksi namun rendah hati di bumi. subhanaLLah… seperti inilah sosok khalifah yang diamanatkan menjaga bumi.

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (S.13:3)


Penulis



Sobirin Billah
Penyuluh Agama Islam Kec. Bandung Wetan Kota Bandung

10 komentar: