Mashlahat mursalah
yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula
terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.
1. Pengertian
Mashlahat mursalah
disebut juga mashlahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui
kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah
semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk
mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.
Kemaslahatan manusia itu mempunyai
tingkat-tingkatan. Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua dan tingkat
yang kedua lebih utama dari tingkat yang ketiga. Tingkat-tingkatan itu, ialah:
- Tingkat pertama yaitu tingkat dhurari, tingkat yang harus ada. Tingkat ini terdiri atas lima tingkat pula, tingkat pertama lebih utama dari yang kedua, yang kedua lebih utama dari yang ketiga dan seterusnya. Tingkat-tingkat itu ialah:
- Memelihara agama;
- Memelihara jiwa;
- Memelihara akal;
- Memelihara keturunan; dan
- Memelihara harta.
- Tingkat yang kedua adalah tingkat yang diperlukan (haji).
- Tingkat ketiga, ialah tingkat tahsini.
Diantara contoh mashlahat mursalah ialah
usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan al-Qur'an yang terkenal dengan jam'ul
Qur'an. Pengumpulan al-Qur'an ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara',
tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah
terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal al-Qur'an yang mati syahid (±
70 orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar pengumpulan
al-Qur'an itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari). Seandainya tidak
dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Qur'an akan hilang dari permukaan dunia nanti.
Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Demikian pula tidak disebut oleh syara'
tentang keperluan mendirikan rumah penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan
atau shalat jama'ah, menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat,
tempat sa'i dua tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk
kemashlahatan agama, manusia dan harta.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang
dibedakan antara qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua
peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu belum
ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan
hukumnya. Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang
kedua. tetapi karena ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua.
Sedang pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil
yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi
ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya.
Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.
Imam al-Ghazali menggunakan istilah
istishlah sebagai kata yang sama artinya dengan mashlahat mursalah.
2. Dasar hukum
Para ulama yang menjadikan mashlahat
mursalah sebagai salah satu dalil syara', menyatakan bahwa dasar hukum
mashlahat mursalah, ialah:
- Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.
- Sebenarnya para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan aI-Qur'an, Khalifah Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullah SAW hanya jatuh satu, Khalifah Utsman telah memerintahkan penulisan aI-Qur'an dalam satu mushaf dan Khalifah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan Syi'ah Radidhah yang memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.
3. Obyek mashlahat mursalah
Yang menjadi obyek mashlahat mursalah, ialah
kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada
satupun nash (al-Qur'an dan Hadits) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini
disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab yang ada dalam fiqh, demikian
pernyataan Imam al-Qarafi ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah
menerangkan bahwa mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum
dalam bidang mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah
Allah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan
lengkap hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat
sesuai dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits.
Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat
Imam asy-Syafi'i dan sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum
dengan mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada persesuaian dengan
mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar